• HOME
  • POLITIK
  • Hikmahanto Kritik Sikap Perwakilan RI di PBB Terkait Konflik Rusia-Ukraina

Hikmahanto Kritik Sikap Perwakilan RI di PBB Terkait Konflik Rusia-Ukraina


Laporan : RMOLNETWORK
Kamis, 3 Maret 2022 - 23:33

Gurubesar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana./Net

Indonesia termasuk salah satu negara yang menyetujui resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa yang meminta Rusia menghentikan serangan ke Ukraina. Langkah Indonesia itu justru disesalkan Gurubesar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana.

Resolusi PBB terkait perang di Ukraina itu diputuskan dalam voting Sidang Majelis Umum PBB Sesi Khusus Darurat (Emergency Special Session), di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Rabu waktu setempat (2/3). Hasilnya 141 negara menyetujui, 5 menentang, dan 35 abstain.

“Patut disayangkan posisi yang diambil oleh Indonesia,” kata Hikmahanto kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (3/3).

Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani ini mengatakan, dengan mendukung resolusi itu,  Indonesia tersebut seolah berada dalam posisi sebagai hakim terkait serangan Rusia. Pun menentukan tindakan Rusia tersebut adalah salah. Padahal dua negara yang berseteru pasti memiliki justifikasi berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional.

"Satu hal yang pasti Rusia tidak akan menyatakan dirinya melakukan perang agresi atau serangan terhadap integritas wilayah negara lain. Ini karena perang agresi pasca-Perang Dunia II telah disepakati untuk dilarang. Sehingga perang hanya boleh untuk dua hal saja yaitu dimandatkan oleh PBB atau dalam rangka membela diri (self defence),” paparnya.

Alasan kedua, lanjut Hikmahanto, dengan posisi menyetujui resolusi PBB itu, berarti Indonesia hanya mengekor AS dan kawan-kawan. Sebagai negara yang menjalankan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif, seharusnya Indonesia menjaga jarak yang sama dalam perseteruan antara Ukraina dan Rusia.

"Indonesia tidak perlu melibatkan diri dalam pertikaian dua negara layaknya AS dkk yang cenderung berpihak pada Ukraina,” imbuhnya.

Alasan lainnya, Indonesia seolah melupakan sejarah. Pasalnya, di masa lalu Indonesia pernah berada di posisi seperti Rusia terkait status Timor Timur (Timtim).

"Ketika itu narasi yang digunakan oleh Indonesia adalah rakyat Timtim berkeinginan untuk bergabung ke Indonesia (integrasi). Namun oleh AS dkk dihakimi sebagai tindakan aneksasi,” ucapnya.

Terakhir, posisi yang diambil oleh Perwakilan Indonesia di PBB tidak sesuai dengan arahan dari Presiden Jokowi dalam memandang konflik Rusia dengan Ukraina.

Presiden dalam tweetnya tanggal 24 Pebruari 2022 menghendaki perang harus dihentikan tanpa menyalahkan Rusia dan Ukraina. Serta meminta konflik diselesaikan secara damai, dan tidak membahayakan pada keamanan dan perdamaian internasional.

"Jadi Indonesia harusnya menjadi fasilitator, yang bisa memberikan solusi bagi konflik ini. Kita harus fokus pada rakyat, karena rakyat tidak boleh menderita akibat perang di kedua negara," ucap Hikmawanto.

Ia mengingatkan, Indonesia seharusnya tidak melihat krisis Rusia dengan Ukraina sebagai konflik antara "pemerintah pusat" (PBB) dan "pemerintah daerah" (Rusia-Ukraina).

"Efektifitas terhadap PBB ini diragukan, dan perlu diingat bahwa PBB ini bukan pemerintahannya. Artinya, tidak seperti pemerintah pusat, kalau misalnya ada pemerintah daerah bersengketa, kemudian pemerintah pusat bisa turun. Mereka punya main street sendiri, itu yang harus kita pahami," papar Gurubesar Universitas Indonesia ini.

"Yang berlaku akhirnya Hukum Rimba, siapa yang kuat sebagai justifikasi hukum internasional, bukan norma yang harus ditaati. Ini akan menjadi justifikasi setiap negara untuk mengambil tindakan,” demikian Hikmahanto.

# TAGAR   :  
EDITOR :
Bagikan Berita Ini :